Sunpride Martin Widjaja (9 November 2012)Apa yang diinginkan Martin M Widjaja saat ini, industri buah-buahan menjadi ratu di negaranya sendiri. Membuatnya berupaya keras membesarkan merek dagang Sunpride bila perlu sampai mendunia, sejalan dengan hasratnya memberdayakan petani buah-buahan menjadi profesional sampai jumlah tak terhingga.
Sugeng Sulaksono, JakartaDari setiap musibah memang bisa dipetik hikmah. Begitu kira-kira ungkapan yang pas untuk menggambarkan kronologi sehingga terbentuk kerangka bisnis dengan melibatkan para petani itu. Semua tercipta karena terjadi kecelakaan bisnis dengan perusahaan asing.Martin menceritakan bahwa pada 1995 ada kesepakatan bisnis antara PT Sewu Segar Nusantara sebagai pemilik Sunpride dengan pihak asing itu. Sepakat untuk mengekspor pisang Cavendish ke beberapa negara.Varietas pisang Cavendish itu sendiri ditanam di lahan seluas 3500 hektar milik perusahaan di Lampung dan hasil panennya diyakini memenuhi skala bisnis lintas negara. “Tapi yang ditanami seluas 2500 hektar,” ucap CEO PT Sewu Segar Nusantara itu saat ditemui Jawa Pos di Chase Plaza, Jakarta, Kamis (08/11).Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Tanaman sebanyak itu diserang hama fusarium sehingga hanya tersisa 400 hektar sampai layak panen. Kesepakatan bisnis harus dikaji ulang karena berpotensi merugi.Dengan volume yang jauh lebih rendah dipastikan pendapatan berkurang drastis. Padahal ongkos distribusi tetap sama. “Sejak saat itu diputuskan untuk pasar domestik saja,” kata pria kelahiran 9 Juli 1968 itu.Mulai saat itu juga Sunpride harus menjalani masa – masa berat agar bisa melakukan penetrasi pasar. Maklum, Cavendish belum populer di mata masyarakat terlebih pisang ini masuk ke pasar menengah atas khususnya melalui supermarket.Secara fisik pisang Cavendish juga berbeda. Kulitnya tebal dan mengilap karena pori-porinya kecil. Rasanya lebih manis. “Varietas pisang Kapendis ini ada beberapa memang. Yang kami tanam benihnya dari Taiwan,” ujar sarjana Manajemen Keuangan dari IOWA University, AS, itu..Dua tahun pertama merupakan saat paling sulit yang harus dihadapi Sunpride. Pasar belum bisa menerima kehadiran pisang mulus itu. “Kelebihan barang (over supply) itu sampai sudah biasa. Kami memang tidak bisa turunkan standar hanya karena supaya lebih diterima pasar lokal. Standarnya sudah begitu. Ada standar berat, besar, panjang, kebersihan, dan sebagainya,” ulasnya.Lambat laun, menurutnya, pasar mulai sedikit demi sedikit mencoba. Bentuknya yang lebih mencolok saat disejajarkan dengan jenis pisang lain memberi keuntungan tersendiri karena mengundang perhatian.Sunpride akhirnya punya banyak pembeli. Setelah punya banyak pembeli muncul satu persoalan yang harus segera dicarikan solusi; pasokan tidak sanggup memenuhi permintaan. “Maka setelah itu mulai ada beberapa pihak mencoba masukkan buah impor,” kata ayah dari tiga anak itu.Beruntung pihaknya tidak memperketat kompetisi dengan cara melakukan impor juga untuk memenuhi permintaan pasar. Meskipun potensi pasarnya sangat tinggi. “Tahun lalu itu penjualan buah impor mencapai Rp 18 triliun,” tuturnya.Martin mulai 2004 menggagas untuk memberdayakan para petani lokal dengan lahan yang dimilikinya masing-masing. Saat ini sudah ada sekitar 400 petani binaan yang bermitra dengan Sunpride. Mulai dari ujung Medan sampai Jawa Timur. “Jumlahnya setiap tahun meningkat dan saya harapkan semakin banyak sampai tak terhingga,” tekadnya.Martin memiliki harapan kelak Indonesia menjadi ratu di negerinya sendiri dalam hal buah-buahan. Dengan tanah sebegitu luas di jalur katulistiwa, semestinya menanam produk holtikultura semakin leluasa. “Jumlah penduduk kita sangat tinggi dan konsumsi buah-buahannya masih sangat rendah,” imbuhnya.Meskipun Martin mengakui pihaknya juga tetap melakukan impor buah-buahan tetapi hanya untuk jenis yang memang dipastikan tidak bisa ditanam di Indonesia, seperti Kiwi. “Kalau bisa kita tanam di Indonesia, ya lakukan. Seperti Nanas Honi itu kan bibitnya dari Hawaii tapi kita bawa ke sini dan bisa tumbuh baik,” ujarnya.Dengan misi baru menciptakan masyarakat gemar makan buah-buahan di Indonesia maka Sunpride tidak hanya jualan pisang Cavendish. Tetapi juga semua jenis pisang yang ditanam para petani mitra dan buah-buahan lainnya kecuali Mangga. “Mangga itu kan jarak panennya hanya dua bulan, dekat sekali. Kalau lagi bukan musimnya kan Mangga tetap ada di pasar tetapi harganya tinggi. Tetapi begitu panen, pasar banjir dan harganya sangat rendah. Sangat tidak masuk akal,” jelasnya.Saat ini sudah lebih dari 20 jenis buah-buahan yang dipasarkan Sunpride. Dari sebanyak jenis itu, pisang dominan mencapai 50 persen sedangkan buah lainnya seperti Nanas, Guava Kristal, Melon, sampai Apel Malang dengan porsi masing-masing sekitar 5 sampai 10 persen. “Volume penjualan kita itu sekitar 2 juta boks dikali 13 kilo per tahun,” terangnya.Komposisi buah hasil tanam di kebun sendiri masih dominan sebesar 60 persen, dari petani lokal sebanyak 20 persen, dan impor 20 persen. Martin mengakui bahwa pisang bukan buah mahal sehingga marginnya tidak tinggi. Akan tetapi dia meyakini bahwa rutinitas belanja pisang jauh lebih sering dibandingkan buah mahal. Atas dasar itu Sunpride masih menjadikan pisang sebagai tulang punggung bisnisnya. “Durian memang mahal. Tetapi belum tentu sebulan sekali orang beli. Kalau pisang, mungkin rumah tangga saja bisa seminggu dua kali atau seminggu tiga kali beli,” paparnya. Khusus untuk jenis pisang Cavendish saja saat ini Sunpride berhasil menguasai sekitar 99 persen pangsa pasar. Sisanya dinikmati oleh importer pisang jenis ini. Khusus untuk pisang,Martin berharap, kelak dunia bisa tahu dan menikmati hasil tanam petani Indonesia. Tetapi untuk sampai ke sana masih jauh karena yang terpenting, menurutnya, memenuhi permintaan domestik terlebih dahulu dan melakukan edukasi agar masyarakat gemar makan buah-buahan. Tahun 2011 penjualan buah impor di Indonesia mencapai senilai Rp 18 triliun. Ceruk pasar yang cukup besar bagi petani lokal agar bisa ambil bagian. Potensi pasar buah impor itu memang menjadi salah satu cara Martin untuk mengiming-imingi petani di Indonesia agar mau menjadi mitra atau setidaknya menjadi lebih rapi dalam berkebun. Supaya buah panennya baik dan memenuhi standar dan bisa dipasarkan ke tempat lebih layak dengan harga tinggi.Sayangnya, kata Martin, mengajak petani lokal bukan perkara mudah. Seperti harus mengubah mindset atau pola pikir yang sudah tertanam sejak lama. “Menanam dengan cara kita kan memang butuh kedisiplinan. Sedangkan mereka mungkin belum terbiasa,” ucapnya. Perkara ringan seperti harus rajin mencabut daun yang tumbuh dekat buah saja misalnya, kata Martin, tidak sedikit yang mengeluh. “Belum lagi kalau misalnya tiba-tiba mereka terdesak butuh uang. Dilakukan panen cepat padahal semestinya misalnya tiga minggu lagi. Padahal kalau mau sabar menunggu nilainya bisa jauh lebih tinggi,” ungkapnya.Maka wajar jika sejak 2004 sampai saat ini petani mitra Sunpride baru mencapai 400 orang. Padahal setiap tahun pihaknya berupaya untuk terus tambah baru lagi. “Kita bahkan sampai edukasi menggandeng universitas. Dengan beberapa pihak lain juga,” imbuhnya. Martin juga sering ajak petani binaannya untuk melihat langsung buah hasil tanamnya dijual di supermarket di kota – kota besar. Berharap bisa turut menjelaskan kepada petani lokal lain yang masih melakukan tanam tradisional. “Keuntungan petani mitra kami jauh lebih tinggi dari petani tradisional. Bahkan kami edukasi agar gunakan pupuk alami dari kotoran Kambing saja misalnya. Ada beberapa kami beri kambing supaya berkembang biak dan kotorannya bisa untuk pupuk,” kisahnya. Bayangkan saja, kata Martin, potensi pasar minimal Rp 18 triliun itu bisa dibagi kepada jutaan petani lokal di Indonesia.Jika berhasil diserap oleh petani di negara ini maka masing-masing masih bisa menikmati keuntungan signifikan. “Dibagi 10 juta petani saja masih dapat banyak itu masing-masing,” ucapnya. Martin menjamin bahwa bagi setiap panen pisang pasti ada pasarnya. Yang terpenting sudah memenuhi standar kualitas.“Sekarang kita punya orang di lapangan yang dekat sama mereka (petani). Terus menerus menebar benih melalui pertemuan untuk perbaikan kualitas hasil panen,” akunya. Martin selalu optimis keterlibatan petani lokal bisa maksimal. Terbukti pada tahun 2000 saat dirinya bergabung dengan Sunpride itu perusahaan baru menjual pisang Cavendish saja. Setelah itu dia berupaya menambah jenis lain dengan melibatkan petani lokal dan lambat laun terwujud.(gen)
Di muat di Jawa Pos (Sugeng Sulaksono) – Pemenang ke tiga Sunpride Writing Contest 2012